Merubah Jarak Pandang


Sewaktu kecil dulu tempat yang paling keren dan kita anggap paling nikmat adalah rumah. Dimana segalanya tersedia dan kita tinggal meminta jika butuh. Makan dan minum dibuatkan, mandi dimandikan, tidur di nina bobo kan. Nyaman sekali.

Saat mulai masuk sekolah dasar, bertemu dengan teman baru dan berkenalan dengan dunia luar, kenikmatan di rumah perlahan mulai runtuh. Kita sudah terbiasa jajan di pinggir jalan, bermain di lapangan sampai lupa waktu. Kalau tak diingatkan, lupa pulang. Perasaan nikmat itu membuat rumah serasa tak senyaman dulu.  Pengennya main diluar. Rumah hanya sebatas tempat untuk tidur dan makn saja. Selebihnya aktifitas serasa nyaman ketika di luar. Sekolah dan lingkungan sekitar pun kita anggap sebagai tempat yang paling nyaman. Dan tidak ditemukan di tempat lain.

Seiring berjalannya waktu, kita telah bertemu dengan banyak teman dari sekolah yang berbeda. Berinteraksi dengan teman dari kampung sebelah. Sesekali kita ikut dengan teman bermain di kampung sebelah, atau ikut lomba antar sekolah di perayaan 17an. Ini membuat kita menemukan lingkungan baru, teman baru dan tempat bermain baru. Lantas sekolah dan lingkungan sekitar yang dulunya kita anggap sebagai tempat yang paling nyaman telah bergeser. Begitu seterusnya hingga kita berada pada titik sekarang ini. 

Tentang siapa dan dimana kita berinteraksi ternyata mempengaruhi cara pandang kita. Rumah, kita anggap nyaman, sebelum kita mengenal sekolah. Sekolah kita bangga banggakan, taman yang asri lingkungan yang bersih serta bapak ibu guru yang ramah. Tidak ada duanya rasanya, tak mau meninggalkannya. Kita beranggapan bahwa tempat inilah yang paling nyaman. Dan tempat yang lain baisa biasa saja di mata Kita. Setelah kita berpindah jenjang sekolah, ternyata apa selama ini kita alami tak seberapa. Ada banyak hal baru yang kita temukan.

Dulu, sebelum menginjakkan kaki di kota, saya beranggapan bahwa Desa ku paling bagus penataannya. Dulu, anggapan saya mobil/motor kendaraan tercepat, itu sebelum saya mengenal pesawat. Namun setelah menjajal pesawat terbang, bahkan untuk yang pertama kalinya, semuanya anggapan itu sirna.

Pernah saya membaca sebuah pesan di Facebook disertai dua foto yang berdampingan. Dua foto itu kelihatannya memang di tampilkan untuk mempertegas pesan yang ada dalam tulisan tersebut.

Foto pertama terlihat seseorang yang berdiri dilereng gunung, dengan wajah tersenyum menikmati pemandangan yang asri disekitarnya.

Foto kedua, menampilkan seseorang yang berdiri di atas puncak gunung juga dengan wajah tersenyum sumringah menikmati pemandangan yang mampu dijangkau oleh mata.

Pesannya tertulis, "berapa besar karunia-Mu ya Allah"

Dalam hal ini saya membaca bahwa ternyata, jarak pandang akan mempengaruhi cara pandang kita dalam menilai sesuatu. Semakin jauh jarak pandang, maka cara pandang kita akan semakin heterogen dan terbuka serta inklusif dan tidak eklusif. Inilah yang yang kemudian akan  membuat kita menjadi pribadi yang menghargai perbedaan dan tidak mudah menyalahkan orang lain.

Ayo kita  mengubah jarak pandang lebih jauh lagi agar cara pandang kita juga berubah hingga timbul rasa syukur atas segala nikmat yang Tuhan berikan kepada kita hingga saat ini.

Sugirma

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode Eklektik (Thoriqoh al-Intiqo'iyyah)

Membahagiakan itu Kebahagiaan

Bapak dan Kenanganku