Membahagiakan itu Kebahagiaan



Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinantikan kedatangannya oleh segenap umat muslim di seluruh dunia. Bulan yang awalnya adalah "berkah", pertengahannya adalah "maghfirah" dan akhirnya adalah "ifqun Min an-Naar" (al-hadis) selalu saja menyajikan berbagai macam gerak-gerik yang beragam oleh kaum muslim dalam rangka meraih cinta sang Ilahi hingga mendapat gelar taqwa diakhirnya.
Salah satu esensi dari disyariatkannya puasa adalah untuk memupuk jiwa solidaritas yang ada pada diri manusia. Puasa, yang secara lahiriah mengharuskan para " shaaimiin" untuk menahan atau menjaga diri dari segala hal yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai dengan terbenamnya matahari. Jika hal tersebut mampu untuk dilakukan, maka akan muncul rasa empati kepada sesama hingga akhirnya tergerak hatinya untuk berbagi kepada sesama. Inilah kemudian mengapa di bulan Ramadhan banyak orang yang rela menghabiskan anggaran yang pantastis untuk dibagi kepada sesama yang membutuhkan baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk makanan ataupun kebutuhan lain yang dapat meringankan beban kaum dhu'afa.
Tradisi berbagi di bulan Ramadhan sudah lama tumbuh di masyarakat muslim Kita.  
Tentu beda tempat beda juga cara berbaginya. Ada yang membagikan langsung secara door to door, ada yang melalui organisasi, atau adapula dengan cara masak bersama dalam satu rumah kemudian mengundang orang lain dalam jumlah besar untuk buka puasa bersama.
Saya ingin bercerita sedikit tentang cara masyarakat Bugis berbagi pada bulan puasa.  Ini penulis angkat disamping sebagai gambaran harmonisasi budaya dan agama di masyarakat Bugis, juga sebagai pengobat rindu akan suka cita kampung halaman yang jauh di rantau. Tentu memori penulis tertuju pada Ramadhan tahun lalu, karena suasana seperti yang akan diceritakan ini tidak bisa kita jumpai di musim darurat Corona seperti saat sekarang ini.
Di dalam masyarakat muslim Bugis, ada  tradisi yang disebut dengan "mappabuka". Tradisi ini hanya bisa kita temui di bulan ramadhan. Mappabuka, yakni menghidangkan suguhan buka puasa bagi masyarakat sekitar dalam jumlah besar. Biasanya mereka yang punya hajat, telah mempersiapkan jauh hari sebelumnya. Waktunya pun diatur melalui kesepakatan bersama yang kemudian diumumkan di mesjid kampung. Ini dilakukan agar tidak terjadi dua hajatan dalam satu hari yang mengakibatkan kurangnya Masyarakat yang ikut buka puasa nantinya. Oleh karena itu mesti diatur secara matang.
Biasanya suguhan yang sajikan mulai dari makanan pembuka berupa sirup , pisang ijo dan sejenisnya sampai makanan berat. Keduanya tergantung dari kemampuan shahibul bait. Kadangkala juga kegiatan mappabuka ini dirangkaikan dengan hajatan lain seperti aqiqahan, tahlilan atau meresmikan rumah baru. Masakan dari olahan daging pun tak luput dari perhatian para ibu-ibu kaum kerabat. Maklum, masyarakat Bugis boleh dikata "doyan" olahan daging. Bahkan sampai tulang tulang dan isi dalamnya pun sukses diolah  menjadi berbagai macam sup, diantaranya konro dan coto di tangan lihai sang "jennang", sebutan untuk juru masak di suku Bugis. Walaupun kadangkala dihantui dengan penyakit kolesterol dan darah tinggi yang seringkali muncul setelah santap buka usai. Hmm, sungguh menggugah selera.
Keceriaan itu bermula sejak pagi sampai buka puasa tiba. Awalnya kegiatan maggere (menyembelih seekor sapi) di pagi hari. Umumnya kaum laki-laki mendominasi awal ini. Kemudian daging sapi yang sudah disembelih ditempat di atas hamparan daun pisang untuk diiris kecil-kecil sesuai dengan kebutuhan. Ini biasa disebut dengan istilah "majjojo", yang dilakukan oleh kaum hawa. Sambil majjojo seringkali terdengar celotehan yang kadang membuat semua tertawa terbahak-bahak. Mereka seringkali lupa kalo sedang puasa. Ceria sangat.
Ketika selesai, daging yang sudah siap, dimasak diatas tungku besar. Biasanya pakai kayu bakar, agar rasanya lebih nikmat. Tak ketinggalan para pemuda turut ambil bagian mengumpulkan tulang sapi untuk diolah menjadi konro. Masakan konro memang biasa dihandle langsung oleh kaum muda dan tidak masuk dalam suguhan inti. Ia hanya disuguhkan manakala olahan daging dianggap kurang karena banyaknya orang yang datang. Suguhan antisipatif begitu. Walau begitu, agaknya konro ini selalu cepat habis karena banyak diminati, mungkin karena dianggap untuk menambah stamina. Seringkali terjadi, belum masak betul, konro sudah melayang di atas piring masing-masing. Dalam kondisi ini berlaku hukum siapa cepat dia dapat. Yang datang belakangan hanya dapat airnya saja. Hehe,  Sungguh pemandangan yang menggambarkan jalinan kekeluargaan yang erat.
Sebelum tiba saatnya berbuka puasa, biasanya diadakan acara "mabbarasanji" yakni pembacaan shirah Nabawiyah dalam kita barzanji. Hal ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh yang maha kuasa kepada shahibul bait, juga sebagai bukti kecintaan terhadap Baginda Rasulullah Saw. Mabbarasanji ini dilakukan secara berkelompok yang dipandu oleh imam mesjid setempat. Kegiatan ini berlangsung hingga menjelang buka puasa. Ketika tiba saatnya buka puasa, maka suasana yang hening akibat menahan lapar pun berubah menjadi ceria penuh kebahagiaan. Kebahagiaan pun juga terpancar di wajah para shahibul bait yang telah menunaikan hajatnya kebahagiaan sesama diwaktu berbuka puasa. Dalam suasana seperti ini sering terlontar dalam benak penghajat, bahwa walaupun tidak menikmati suguhan buka puasa rasanya tetap kenyang dan nikmat melihat para tamu senyum bahagia. Karena membahagiakan itu adalah sebuah kebahagiaan yang luar biasa.
Namun, agaknya dalam kondisi darurat Covid 19 seperti saat sekarang ini, rasanya hal semacam ini tidak mungkin kita temui. Pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus mematikan ini , tentunya sangat berdampak bagi kehidupan sosial masyarakat, utamanya pada bulan suci Ramadhan. Namun, sebagai seorang muslim, rasa ingin berbagi pada sesama tak mungkin akan pudar, karena hal itu merupakan bagian dari bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT sang Maha Pencipta.
Di dalam Al-Qur'an juga sering kita dapati ayat-ayat yang berbicara soal keutamaan orang yang senantiasa bersedekah. Diantara satu ciri-ciri orang yang bertaqwa adalah mereka yang berinfaq dan bersedekah baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Mereka ini termasuk yang akan diberikan ganjaran berupa ampunan atas dosa dosa yang telah diperbuat dan kenikmatan surga dengan hidup kekal didalamnya. (QS. Al-Imran: 134-136)
Begitu pula dalam ayat lain dijelaskan bahwa orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. (QS. Al- Baqarah:261)
Perumpamaan orang yang menginfaqkan hartanya untuk mencari keridhaan Allah SWT, dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun pun (memadai). Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 265)
Dengan kata lain, seseorang yang seringkali bersedekah, maka tidak akan menderita kerugian, justru akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda di sisi Tuhannya, walau kelihatannya hartanya berkurang. Dan kunci untuk berbagi adalah ikhlas demi keberkahan. Bukan banyak atau sedikitnya, tapi berkah tidaknya. Jangan menunggu banyak atau lebih untuk bersedekah, tapi bersedekahlah maka Allah yang akan mencukupkan bahkan melebihkan. Semoga kita senantiasa termasuk golongan yang memiliki kesadaran akan indahnya berbagi.
Wallahu a'lam.

Komentar

  1. Subhanallah. Catatan antropologi agama yang sangat indah

    BalasHapus
  2. Terimakasih banyak Prof atas segala dukungannya. Sepertinya masih butuh banyak editan.

    BalasHapus
  3. Luaar biasa jd pengen pulang manre palekko na sokko bolong

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode Eklektik (Thoriqoh al-Intiqo'iyyah)

Bapak dan Kenanganku